BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan
kompetensi dalam ilmu keperawatan dasar , maka para perawat diharap mampu
menguasai dasar-dasar ilmu keperawatan sebelum mempelajari ilmu keperawatan
yang lebih kompleks. Oleh karena itu penulis membuat sebuah karya tulis
berbentuk makalah yang membahas tentang “Tahap Perkembangan
Moral Kohlberg”.
Konsep
Berubah dipilih sebagai pembahasan dalam makalah ini menyesuaikan dengan
pembagian materi oleh dosen pembimbing guna dibahas sebagai bahan diskusi
bersama. Kosep Berubah selanjutnya dijadikan judul makalah ini yaitu “Makalah
IKD Tahap
Perkembangan Moral Kohlberg”.
.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk lebih memahami tentang Tahap
Perkembangan Moral Kohlberg.
1.3 Manfaat Penulisan
Makalah ini dapat bermanfaat bagi
mahasiswa agar lebih memahami Tahap Perkembangan Moral Kohlberg. Serta makalah ini juga
bermanfaat untuk kelangsungan proses belajar yang dilakukan secara SGD.
Sehingga mahasiswa bisa lebih berkompeten.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Dasar Teori Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi
rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti
yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia
belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat
setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi
anak-anak terhadap dilema moral.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang
merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang
dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring
penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan
moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas
pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada
prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama
kehidupan
2.2
Tingkatan Perkembangan Moral Menurut
Kohlberg
- Pra-Konvensional
- Konvensional
- Pasca-Konvensional
2.3
Tahapan dalam Tingakatan
Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1.
Orientasi kepatuhan dan hukuman
2.
Orientasi minat pribadi
(
Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
3.
Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
(
Sikap anak baik)
4.
Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
(
Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5.
Orientasi kontrak sosial
6.
Prinsip etika universal
2.4 Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
Tingkat pra-konvensional dari
penalaran moral, umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat
menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat
pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya
langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam
perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
h Tahap 1 (Orientasi Kepatuhan dan
Hukuman)
Dalam tahap pertama, individu-individu
memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan
sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang
yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin
salah tindakan itu.Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang
lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai
sejenis otoriterisme.
h Tahap II (Orientasi Minat Pribadi)
Tahap dua menempati posisi apa untungnya
buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling
diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan
orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga
punggungmu.”[4] Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh
loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang
masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap
lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri
saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang
bersifat relatif secara moral.
2.5
Tingkat II (Konvensional)
Tingkat konvensional
umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan
harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat
dalam perkembangan moral.
h Tahap III (Orientasi Keserasian
Interpersonal dan Konformitas)
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki
masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau
ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan
persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi
seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada
gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari
suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal,
yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden
rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu
peran sosial . Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan
dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik'
h Tahap IV (Orientasi Otoritas dan
Pemeliharaan Aturan Social)
Dalam tahap empat, adalah penting untuk
mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara
fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar
kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan
masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan
apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila
seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu sehingga
ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang
melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor
yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
2.6
Tingkat III (Pasca-Konvensional)
Tingkatan pasca
konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima
dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah
entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif
seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri
mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar
dengan perilaku pra-konvensional.
h Tahap V (Orientasi Kontrak Social)
Dalam tahap lima, individu-individu
dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan
adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang
tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai
ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau
absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku.
Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila
perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.[8]
Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal
ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap
lima.
h Tahap VI (Prinsip Etika Universal)
Dalam tahap enam, penalaran moral
berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum
hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga
menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Keputusan
dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara
hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa
yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa
yang dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil
konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu
menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada
maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
2.7
Contoh
Dilema Moral yang Digunakan Kohlberg
Salah
satu dilema yang digunakan Kohlberg dalam penelitian awalnya adalah dilema
apoteker: Heinz Mencuri Obat di Eropa.
Seorang
perempuan sudah hampir meninggal dunia akibat semacam kanker. Ada suatu obat
yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat itu adalah semacam radium yang
baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Obat itu mahal
ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker menjualnya sepuluh kali lipat ongkos
pembuatannya tersebut. Ia membayar $200 untuk radium tersebut dan menjualnya
$2.000 untuk satu dosis kecil obat tersebut. Suami dari perempuan yang sakit,
Heinz, pergi ke setiap orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tapi ia cuma
memperoleh $1.000, setengah dari harga obat seharusnya. Ia berceritera kepada
apoteker bahwa isterinya sudah sekarat dan memintanya untuk dapat menjual obat
dengan lebih murah atau memperbolehkan dia melunasinya di kemudian hari. Tetapi
si apoteker mengatakan: “Tidak, saya yang menemukan obat itu dan saya akan
mencari uang dari obat itu.” Heinz menjadi putus asa dan membongkar apotek
tersebut untuk mencuri obat demi istrinya.
Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk
mencuri obat bagi isterinya? Mengapa?
Dari
sudut pandang teoretis, apa yang menurut partisipan perlu dilakukan oleh Heinz
tidaklah penting. Teori Kohlberg berpendapat bahwa justifikasi yang diberikan
oleh partisipanlah yang signifikan, bentuk dari respon mereka.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam teori
Kohlberg, pendapat kita tentang bagaiman menyelesaikan kasus dari suatu dilema
etis tidaklah penting. Melainkan tindakan kita sebagai orang yang mengadili
itulah yang penting.
3.2 Saran
Demikian makalah yang telah kami
buat, kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada makalah yang
kami susun. Atas kekurangan pada makalah kami mohon dimaklumi
Kami juga memohon untuk saran dan kritik untuk makalah kami
apabila ada yang kurang berkenan.